Sawunggalih, Awal Berdirinya Kota Kutoarjo

Banyak orang yang mencari referensi mengenai asal-usul daerahnya, sejarah dan lain sebagainya. salah satunya adalah daerah Semawung Daleman, yang merupakan cikal bakal lahirnya kota Kutoarjo di pesisir selatan Jateng, tepatnya di Kabupaten Purworejo. Secara historis ini sangat menarik untuk dipelajari terutama untuk orang-orang yang suka dengan sejarah dan perjalanannya.

Kisah Kyai Jinem
Sawunggalih bukan lahir dari darah biru atau bangsawan melainkan keturunan rakyat biasa, mulai dari kecil dididik oleh eyangnya yang bernama Kyai Jinem. Kyai Jinem adalah abdi dalem Adipati Rama Kenjeng Raden Tumenggung Joyokusumo yang sekarang peninggalan sejarahnya ada di kota Gombong. Semasa hidupnya Adipati Rama KRT Joyokusumo menjadi adipati di daerah Begelen yang sangat terkenal. Pada suatu hari Pangeran Joyokusumo pergi dari keraton menuju ke arah barat dengan ditemani abdinya bernama kyai Jinem. Sesampainya di Masjid Semawung merasa lelah dan istirahat di situ. Karena sudah larut malam Pangeran Joyokusumo dan Kyai Jinem akan tidur, tetapi tidak mau tidur di dalam masjid melainkan tidur di bawah pohon dengan masji tersebut.
Pada waktu Kyai Jinem mendapat ilham yang diterimanya bahwa di daerah itu dikemudian hari akan menjadi Negara yang subur makmur murah sandang dan pangan.
Selain itu juga Pangeran Joyokusumo juga bermimpi kalau hidungnya terasa kemasukan hewan kecil yang berujud jengkerik yang terus menerus bersembunyi. Sementara waktu jengkerik itu meloncat dari hidung  ke tanah jengkerik tersebut dilempar dengan keris pusakanya dan jengkerik hilang bersama pusakanya dan tidak tahu kemana rimbanya. Pada waktu itu Kyai Jinem tidak jadi mengantar pulang Pangeran Joyokusumo dengan alas an kesehatannya terganggu. Pada saat akan pulang Pangeran Joyokusumo tidak menceriterakan ilham lewat mimpi yang baru saja diterimanya kepada abdinya dan akhirnya beliau diantar oleh beberapa abdinya yang lain. Sebelum pulang Pangeran Joyokusumo berpesan kepada Kyai Jinem agar menggali harta yang terpendam pada tanah bekas tempat tidur Pangeran Joyokusumo dan Kyai Jinem dan harta tersebut dapat untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Joko Guthul
Sepeninggal Pangeran Joyokusumo, Kyai Jinem menetap dan membuka lahan baru, sebagai petani dan juga memperluas daerah Semawung. Dalam membuka lahan pertanian Kyai Jinem dibantu oleh Juru kunci Masjid Semawung dan tak lama kemudian timbullah rasa simpatik tertarik kepada putra-putrinya Ki Juru kunci yang bernama Dyah Rara Murdinah. Ki Juru kunci beserta istrinya merasakan hal tersebut dan dinikahkanlah Kyai Jinem dengan putrinya. Selang beberapa lama Kyai Jinem dalam membangun rumah tangga dikaruniai putra yang diberi nama JAKA WUKU. Setelah dewasa Jaka Wuku juga beristrikan keluarga dari eyangnya Ki Juru kunci dan mempunyai putra diberi nama JAKA GUTHUL. Jaka Wuku hanya berusia pendek, sehingga Jaka Guthul lalu ikut dan dididik oleh eyangnya yaitu Kyai Jinem.
Pada waktu itu Kyai Jinem ingat akan pesan Pangeran Joyokusumo kalau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari supaya menggali tanah di sekitar masjid dimana pada waktu itu tempat hilangnya keris pusaka dan jengkerik.
Setelah digali bersama cucunya Jaka Guthul, maka di dalam tanah tersebut ditemukan harta karun yang banyak berupa emas. Kyai Jinem di daerahnya terkenal sebagai seorang yang suka bertapa, tirakat dan nepi. Pada suatu malam dalam tidurnya ia mendapat ilham lewat mimpinya agar supaya pergi ke arah barat. Dan pergilah Kyai Jinem beserta cucunya Jaka Guthul dengan berpura-pura menjadi pedagang tembaga. Sesampainya di daerah Penatus Kebumen, hari sudah larut malam, sehingga terpaksa menginap di rumah penduduk setempat, tetapi tidak mau tidur di dalam rumah namun di emperan depan kandang kuda. Tiba-tiba pada waktu tengah malam Kyai Jinem dikejutkan dengan suara aneh seakan-akan suara orang menangis serasa menyayat hati. Setelah dicari-cari sumber suara tadi berada di tengah tumpukan kayu untuk kayu bakar penerang kandang, segera kayunya diambil Kyai Jinem dan dibelah di dalamnya ditemukan sebuah keris pusaka yang sakti. Hal itulah yang membuat Kyai Jinem senang Esok harinya ia pulang ke Semawung dan anehnya sesampainya di halaman rumah tiba-tiba ada angin rebut (lesus), sindung riwut, celeret tahun yang sangat mengerikan, apa saja tersapu oleh angin tersebut termasuk cucunya Jaka Guthul. Setelah itu Kyai Jinem merasa sedih dan akhirnya mencari daerah yang sepi untuk bertapa. Dalam tapanya tersebut ia mendapat ilham lagi supaya pergi ke selatan.

Pusaka Boghondali
Konon Kyai Jinem pergi ke arah selatan berjalan menyusuri Pantai Laut Selatan dan akhirnya sampai di daerah Rawagung yang sekarang daerah tersebyt dinamakan Bonorowo. Di daerah itulah Kyai Jinem mencari ikan (mengail) untuk menghilangkan kesedihan hatinya karena ditinggal oleh Jaka Guthul yang tidak tentu arah raibnya tersebut. Sesudah dapat ikan banyak Kyai Jinem tersebut mencari rumah untuk bermalam, karena pada waktu itu hari telah larut malam, dan pada waktu itu ia berada di Kelurahan Dudu Kulon.
Diantara hasil ikannya itu, ada salah satu yang sangat besar, dan diberikan kepada Bu Lurah supaya dimasak untuk makan malam. Karena terlalu besarnya ikan itu, Bu lurah takut untuk membersihkan kotorannya dan Kyai Jinem sendiri yang membersihkan ikan tersebut. Setelah ikan dibersihkan dari kepala sampai ekornya, ikan dibelah menjadi dua bagian maka ditemukan sebilah keris pusaka. Pagi harinya Kyai Jinem pulang ke rumah dan pada waktu akan masuk ke rumah tersebut, terjadilah peristiwa yang mengagetkan lagi, yaitu datanglah angin lesus secara tak terduga dari sebelah atas muncul Jaka Guthul kembali pulang dan berada di depan Kyai Jinem berdiri.
Jaka Guthul bercerita bahwa pada waktu itu ia dibawa oleh angin lesus sampai di kerajaan Nyai Loro Kidul, dan menerima nasehat yang berhubungan dengan jalan hidup dikelak kemudian hari. Jaka Guthul juga diberi pusaka yang bernama Bogondhali, yang disimpan di telapak tangan. Hal inilah yang menjadi Jaka Guthul sakti mandraguna.

Prajurit Sakti Mandraguna
Pada waktu itu terjadilah peperangan antara Pangeran Mangkubumi melawan Pangeran Puger yang dibantu oleh tentara Belanda. Prajurit Mangkunegaran iru berada di pihak Pangeran Mangkubumi, tetapi peperangan itu makin lama makin terpojok dan terdesaklah pihak prajurit Pangeran Mangkubumi. Melihat keadaan yang gawat Jaka Guthul berniat untuk masuk sebagai prajurit Mangkubumi. Setelah mohon restu kepada Eyangnya, Kyai Jinem, maka Jaka Guthul pergi menghadap ke tempat P. Mangkubumi berada untuk menyampaikan niatnya menjadi prajurit Mangkunegaran. Walaupun agak keberatan menerima Jaka Guthul tersebut, tetapi akhirnya diterima asal bisa mengalahkan tentara Belanda kaki tangan Pangeran Puger. Peperangan seru terjadi di daerah Kedu, Jenar, Ungaran, samapi di prapatan Ketawang di utara Sungai Lereng. Dikarenakan kesaktian Jaka Guthul, banyak sekali tentara Belanda yang tewas dan kocar-kacir. Melihat makin lama pihaknya makin tersedak, maka tentara Belanda minta bantuan kepada Bupati Arumbinang Kebumen yang berpihak pada Pangeran Puger. Maksud untuk mohon bala bantuan Bupati Arumbinang tersebut gagal, dikarenakan istri Bupati tersebut sudah tahu kesaktian Jaka Guthul. Oleh karenanya Bupati dan istrinya lebih baik menyingkir ke daerah Bulupitu. Seterusnya Jaka Guthul berkobar semangat perangnya sehingga tentara Balanda terpojok sampai ke Jawa Timur. Melihat keadaan yang membahayakan itu, pihak Belanda lalu menggunakan cara politik, yaitu mengadakan genjatan senjata dan mohon agar diadakan perundingan, tetapi Pangeran Mangkubumi tidak menyetujui karena merasa dirugikan. Hal ini di dalam sejarah nasional merupakan penyebab pecahnya Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu : Surakarta Hadiningrat dibawah Pangeran Puger dan Ngayogjakarta Hadiningrat di bawah Pangeran Mangkubumi dan menjadi Sultan dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Sawunggalih
Karena jasanya dalam peperangan dan berhasil mengalahkan bala tentara Belanda, maka Sri Sultan Hamengkubuwono I menganugerahi Jaka Guthul sebagai seorang tumenggung dengan sebutan Tumenggung Kartawiyogo dan dinikahkan dengan adik Sri Sultan sendiri yang kemudian dianugerahi seorang anak yang bernama Raden Mas Umar Said. Peperangan telah selesai tetapi tidak terduga timbullah pemberontakan yang dipimpin oleh Tumenggung Sawunggalih yang berasal dari daerah Kadipaten Kaleng, Karanganyar, Kebumen yang merasa tidak puas dengan pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Untuk menumpas pemberontakan tersebut lalu Sri Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan kepada Tumenggung Kartawiyogo (Jaka Guthul) untuk memadamkannya.
Setelah pemberontakan dapat dikalahkan, maka itu diberi tambahan gelar lagi menjadi : Tumenggung Kartawiyogo Sawunggalih. Nama Sawunggalih itulah sekarang menjadi inti cerita ini dan diberi tanah Semawung, dan di hari tuanya Tumenggung Kartawiyogo Sawunggalih tersebut menjadi seorang Ulama/Pepundhen dan sudah tidak memikirkan duniawi. Daerah Semawung tersebut diberikan kepada putranya RM. Umar Said, dan bergelar Tumenggung Sawunggalih Notonegoro. Adapun makam Tumenggung Kartawiyogo Sawunggalih Pahlawan rakyat asal Semawung Kutoarjo tersebut bisa kita lihat makamnya di belakang Masjid Semawung Daleman Kecamatan Kutoarjo Kabupaten Purworejo. Karena merupakan peninggalan sejarah tidak ada jeleknya kalau tempat tersebut kita keramatkan dan juga perlu kita jaga kelestariannya.

Comments

Popular posts from this blog

SPOT MANCING DIPURWOREJO

Sejarah Desa Semawung Daleman