Mantan masinis kereta tragedi bintaro 1987 di hari tuanya
KECELAKAAN kereta api di Petarukan memang mengingatkan masyarakat terhadap tragedi kecelakaan terburuk sepanjang sejarah perkeretaapian di Indonesia. Kecelakaan yang kemudian lebih dikenal dengan tragedi Bintaro 1987 itu masih menyisakan kisah sedih. Bukan saja bagi para keluarga korban, tapi juga masinis yang dulu menjalankan kereta maut tersebut.
TIDAK mudah melacak keberadaan Slamet Suradio (71), mantan masinis kerata api (KA 225) yang bertabrakan dengan KA cepat (KA 220). Laki-laki yang pernah menggemparkan dunia ini seperti hilang ditelan sejarah seiring dengan umurnya yang mulai menua. Tapi namanya kembali disebut-sebut dalam pemberitaan media setelah terjadinya kecelakaan kereta di Petarukan, Pemalang. Stasiun Kutoarjo yang diharapkan memiliki data alamat tempat tinggal Slamet justru terkejut begitu diberi tahu bahwa kereta maut itu dimasinisi warga Purworejo. Nyaris putus asa mencari alamat, akhirnya berspekulasi mencari alamat Slamet ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Alhamdulillah, setelah dilacak menggunakan sistem administrasi kependudukan online, nama Slamet Suradio muncul dan tercatat sebagai warga RT 01 RW 02 Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo. Saat didatangi ke rumahnya, laki-laki yang oleh warga sekitar lebih akrab disaba Slamet Bintaro ini sedang tidak ada. Tetangganya menyebutkan dia sedang bekerja berjualan rokok keliling di perempatan besar dekat BRI Cabang Kutoarjo. Saat didatangi tempat dia mangkal jualan, juga tidak ada. Tukang becak di dekat lokasi menyebutkan Slamet baru saja pulang.
"Itu mbah Slamet," ujar salah satu tukang becak dengan menunjukan jarinya ke arah seorang laki-laki renta yang mengenakan baju biru dan topi biru berjalan tertatih-tatih di trotoar. Tanpa pikir panjang, mengejarnya dan menawarkan tumpangan pulang untuk wawancara mengenai tragedi yang menjadi awal kesengsaraan hidupnya.
Saat singgah di sebuah warung untuk makan siang, Slamet mulai berkisah. Sembari lahap menyantap nasi sayur sop, dia secara jujur mengatakan, tragedi kecelakaan kereta yang terjadi pada Senin Pon, 19 Oktober 1987 pukul 07.30 itu menjadi awal dimulainya kehidupan dia yang sengsara dan menderita tanpa dia tahu harus mengadu ke mana.
"Karena tragedi yang sebenarnya juga tidak saya kehendaki itu, pengabdian saya di PJKA (sekarang PT KAI, red) berpuluh tahun seperti tidak ada artinya. Saya diberhentikan dengan tidak hormat sehingga saya tidak dapat uang pensiun," keluhnya.
"Di umur yang se tua ini, saya masih harus banting tulang memeras keringat dengan jualan rokok eceran keliling yang setiap harinya hanya memberikan saya pendapatan tidak lebih dari Rp 5.000," tuturnya dengan menyeka air mata yang mulai menetes. Slamet mengakui hatinya merinding begitu mendengar berita terjadinya kecelakaan di Petarukan. Dia yang sudah pernah merasakannya langsung berpikir, pasti masinis kereta yang akan menanggung semua beban kesalahan, meskipun sebenarnya banyak pihak terkait yang ikut bersalah.
"Saya kok yakin pasti masinis itu masuk ke dalam jalur setelah dia mendapatkan sinyal aman dari PPKA (pemimpin perjalanan kereta api). Bertahun-tahun saya jadi masinis, tidak akan berani masuk ke jalur kalau tidak ada sinyal aman dari PPKA," katanya. Dia pun berkisah dari kecelakaan yang dialaminya. Waktu itu, katanya, dia bersama kondektur Adung Syafei menjalankan KA 225 jurusan Rangkasbitung-Tanah Abang ditarik lok BB306 16. Menurut versi dia, KA 225 memang mengalami keterlambatan sekitar 5 menit saat sampai di stasiun Sudimara Tangerang.
Apabila tepat waktu, KA 225 seharusnya datang pukul 06.40 dan menunggu KA 220 yang lewat pada pukul 06.49. Di jalur 2 sudah ada KA barang yang menunggu. Karena Stasiun Sudimara hanya punya 3 jalur, dan jalur 1 kondisinya agak rusak, maka KA 225 dimasukkan ke jalur 3.
Karena penuh, kegiatan persilangan jadi mustahil. Otomatis persilangan terpaksa dipindahkan ke stasiun Kebayoran. Menurut peraturan, untuk memindahkan persilangan ke Kebayoran, PPKA harus meminta izin dulu ke Kebayoran. Setelah diizinkan, baru PPKA membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis KA 225. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. PPKA membuat PTP dan memberikannya ke masinis, baru meminta izin ke Kebayoran."Intinya saya memberangkatkan kereta setelah ada perintah dari PPKA dan kondektur saya juga sudah memberikan tanda aman," katanya.
Pada saat KA 225 berangkat dari stasiun Sudimara, bersamaan dengan itu KA 220 juga berangkat dari Kebayoran. Tabrakan tak akhirnya tidak bisa terhindarkan dan 139 penumpang tewas. "Jarak 10 meter saya baru tahu dari arah berlawanan ada kereta. Saya sudah berusaha mengerem tapi tetap saja tidak bisa. Kecepatan sekitar 40 km per jam," katanya.
Begitu kecelakaan terjadi, Slamet tidak sadar dan baru mengetahui setelah dibawa ke rumah sakit (RS) Pelni. Tulang tungkainya retak 5 sentimeter, kaki kananya patah, dan semua giginya rontok. Dari RS Pelni, dia dipindah ke rumah sakit Cipto. Saat di rumah sakit inilah ada ancaman dia akan diculik oleh keluarga korban, sehingga harus dipindahkan ke RS Kramat Jati oleh petugas kepolisian. Dia di rawat selama tiga bulan ICU RS Kramat Jati. Dalam perawatan itu, dia mulai disidik untuk dimintai keterangan setelah ditetapkan sebagai tersangka.
"Saat disidik itu, saya dipaksa mengakui kecelakaan itu terjadi karena kelalaian saya sepenuhnya. Bahkan saya sempat ditodong pistol oleh penyidik yang bernama Mayor Hidayat. Saya bilang silakan saja saya ditembak kalau saya harus mengakui kesalahan yang tidak saya lakukan," katanya.
Dia menduga ada konspirasi terselubung untuk menimpahkan semua kesalahan kepada pegawai rendahan seperti dirinya. "Saya diminta menandatangani berita acara yang tidak boleh saya baca terlebih dahulu. Akhirnya dalam persidangan saya divonis lima tahun dari tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) selama 14 tahun penjara. Vonis itu dikuatkan terus hingga dia mengajukan peninjauan kembali," katanya.
Slamet mengatakan, dirinya hanya menjalani hukuman selama 3,5 tahun kemudian bebas setelah mendapatkan remisi. Di sela-sela menjalani hukuman itulah, istrinya bernama Kasni direbut temannya sendiri yang juga seorang masinis. Sekitar tahun 1993 akhir dia sudah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang kemudian masuk kantor lagi tapi sehari-harinya hanya diisi dengan kegiatan apel. Hingga akhirnya tahun 1996 dia mendapat surat pemberhentian dengan tidak hormat dengan dasar kasus kecelakaan tersebut. Otomatis dia tidak mendapatkan uang pensiun. Padahal Slamet sudah mulai mengabdi di PJKA sejak tahun 1964 dan mulai tahun 1971 menjadi masinis setelah dirinya lulus tes masinis.
Slamet menuntut keadilan agar dirinya diberikan uang pensiun. Sebab istrinya saat ini, Tuginem (45) juga bukan keluarga berada. Sehari-hari hanya menjadi buruh tani. Padahal masih ada tiga anak yang ditanggungnya, yaitu Untung Sariono (16), Suroso (14), dan Safitri (9). "Saya belum tahu kalau nanti saya mati, mereka nasibnya seperti apa," katanya. Slamet mengatakan, setiap kali ada kecelakaan kereta hatinya miris teringat peristiwa 1987. Namun dia kerap rindu dan terkenang saat menjadi masinis. Untuk mengobati kerinduannya, tidak jarang dia pergi ke stasiun kereta Kutoarjo hanya untuk menyaksikan kereta yang melintas.
Sumber: ceritamu,com
Comments
Post a Comment