LONDO IRENG PURWOREJO. Jejak Sejarah yang Terlupakan.
Ketika saya masih kecil, ditahun-tahun ‘30-an akhir, bila saya diajak menengok orang sakit di Zending/RSD Purworejo, di daerah Pangen (Juru Tengah) kami melewati sebuah kompleks sebelah timur Rumah Sakit, di sebelah kanan jalan, yang dihuni oleh “orang2 aneh”. Yang paling menyolok adalah kulit mereka yang hitam legam, “ireng-tuntheng”, sehingga bila ketawa kelihatan sederet gigi mereka yang sangat kontras dengan warna kulit mereka. Kenangan saya yang terpatri dalam memori saya tentang kompleks pemukiman itu adalah sederetan rumah-rumah gedung yang cukup bagus dengan hiasan pohon “pisang kipas” yang banyak menghias halaman depannya. Anak anak yang bermain di halaman depannya dengan penampilan mereka, sungguh merupakan pemandangan yang betul-betul ajaib dan “menakjubkan”.
Siapa mereka ini, darimana asal-usulnya, mengapa dan bagaimana mereka bisa berada di Purworejo, sampai berkembang biak dan bermasyarakat, dan hidup dalam kompleks perkampungan di daerah Pangen itu? Dan selanjutnya, mengapa pada satu saat tiba-tiba menghilang hampir tanpa bekas, ibarat kabur terbawa angin. Sungguh kisah yang menarik, dan berdasar atas apa yang saya baca dari kepustakaan yang ada*) dan observasi lapangan secara pribadi berikut ini adalah yang bisa diceritakan secara singkat.
Perang Diponegoro.
Bermula dari jaman Perang Diponegoro (1825-’30), Belanda “kehilangan” sekitar 8000 tentara kulit putih, baik yang gugur dalam pertempuran maupun korban penyakit tropis. Serdadu itu direkrut dari berbagai negara Eropah, khususnya Jerman, sebagai prajurit bayaran. Belanda sendiri sebagai negara kecil tidak mungkin menyediakan tentara, yang kemudian menjadi korban, sebanyak itu. Sebagai contoh, Belanda tahun 1827 ditengah-tengah berkecamuknya Perang Diponegoro, mengirim bantuan pasukan satu resimen terdiri dari 3000 orang tentara bayaran kulit putih. Dua tahun kemudian resimen tersebut tinggal 1000 orang. Itulah dahsyatnya Perang Diponegoro yang oleh Belanda dinamakan “Perang Jawa” (Java Oorlog), perang yang paling berdarah dalam sejarah perang kolonial Belanda, dalam jumlah korban, tenaga-pikiran dan keuangan Belanda.
Dengan berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda mulai berpikir bila nanti ada peperangan lagi di daerah jajahannya, dari mana mereka merekrut pasukan, disamping mahal biayanya juga adanya pembatasan-pembatasan dari negara yang bersangkutan untuk tidak memperbolehkan warganya di rekrut sebagai serdadu bayaran.
Kedatangan Serdadu Afrika.
Gubernur Jendral waktu itu, Van den Bosch, yang kemudian dikenal juga sebagai arsitek tanam paksa Cultuur Stelsel, mengusulkan sebuah solusi dengan merekrut tentara yang berasal dari Afrika Barat dari negara-negara yang kini bernama Ghana dan Burkina Fasau. Di sana Belanda memang memiliki pos-pos perdagangan/benteng yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk maksud rekrutmen tersebut. Alasannya disamping murah, berani perang, orang Afrika dinilai lebih tahan menghadapi iklim dan penyakit di daerah tropis.
Dengan berbagai akal dan usaha, antara lain dengan membeli budak-budak dari raja setempat, 100 gulden per kepala, Belanda berhasil merekrut tentara bayaran Afrika. Pengiriman terjadi dalam beberapa gelombang: antara tahun 1831-1836, sebanyak 112 orang, tahun 1837-1841, sebanyak 2100 orang dan antara tahun 1860-1872, 800 orang. Jumlah seluruhnya lebih dari 3000 orang, seluruhnya berstatus bujangan.
Serdadu bayaran dari Afrika tersebut bekerja berdasar kontrak untuk 12 tahun dan dapat diperpanjang, dengan gaji 20 gulden/bulan. Gaji 20 gulden itu masih harus dipotong angsuran untuk mengembalikan ongkos “pembeliannya” yang 100 gulden. Mereka secara hukum berstatus sama dengan serdadu Belanda putih, kecuali gajinya yang hanya setengahnya. Dan untuk membedakan mereka dengan Belanda putih, mereka dinamakan Zwarte Hollanders, Belanda Hitam, atau Londo Ireng.
Mereka disebar keberbagai lokasi, Semarang, Salatiga dan Solo, namun sebagian besar ditempatkan di Garnisun Purworejo pada Tangsi Militer Kedungkebo yang baru selesai dibangun permulaan tahun 1830-an. Pembangunan tangsi besar dan penempatan serdadu hitam di Purworejo itu bukan tanpa alasan. Di daerah Bagelen ini Belanda menderita banyak kekalahan selama Perang Diponegoro dengan jatuhnya korban terbesar diantara serdadunya, sehingga diperlukan cara khusus untuk mengatasi. Tidak kurang dari 25 benteng dibangun diseluruh daerah Bagelen ( dari Kedungkebo sampai ke Petanahan/Kebumen), inilah yang mereka namakan strategi “benteng stelsel” hasil rekayasa Jendral de Kock, untuk mengepung dan mempersempit gerak pasukan Diponegoro. Yang dekat Purworejo antara lain adalah benteng Kedungkebo, Bubutan, Lengis. Ke Barat Ambal dan Petanahan. Kekuatan pasukan Diponegoro menyebar sepanjang pantai selatan Bagelen, Urut Sewu, sehingga dari dulu sejak saya masih kecil, sampai sekarang, jalan sepanjang daerah itu dikenal dengan nama Jalan Diponegoro.
Dengan selesainya Perang tahun 1830, Belanda menilai bahwa daerah Bagelen adalah daerah rawan yang memerlukan perhatian khusus, mengingat pengikut Diponegoro masih cukup banyak dan kuat. Dibangunlah tangsi militer besar di Kedungkebo yang masih bertahan kokoh sampai saat ini. Kemampuan militer Belanda untuk daerah Bagelen dengan sendirinya juga diperbesar. Penempatan serdadu kulit putih dan pribumi dalam jumlah yang besar, sekitar satu batalyon, itu belum menjamin rasa aman Belanda, sehingga dirasa perlu untuk menempatkan serdadu Afrika sebanyak tiga kompi, di garnisun Purworejo yang berlangsung dari tahun 1831-1872.
Prestasi Serdadu Afrika.
Uji coba serdadu Afrika tersebut dimulai di Lampung, Sumatra Selatan yang nampak kurang memuaskan, kemudian dalam Perang Paderi di Sumatra Barat dimana sudah nampak kelebihan orang Afrika ini, namun yang dianggap sukses oleh Belanda adalah ikut sertanya 536 serdadu Afrika dalam pasukan yang berkekuatan 7500 orang dalam ekspedisi ketiga penaklukan Bali tahun 1849, (Perang Buleleng) yang berakhir dengan ditundukkannya raja Bali setelah jatuhnya benteng Jagaraga (Singaraja). Setelah ekspedisi berakhir sebanyak 41 orang serdadu Afrika mendapat tanda penghargaan dan citra mereka naik tinggi dimata orang Belanda.
Setelah itu serdadu Afrika ikut aktif dalam ekspedisi ke Timor, Sulawesi, Kalimantan dan tentu saja dalam perang Aceh. Disini seorang perwira dalam laporannya mengatakan bahwa “orang Afrika adalah serdadu-serdadu terbaik dalam KNIL (Serdadu Hindia Belanda)” dan “memperhatikan bahwa orang Aceh sangat segan terhadap orang Afrika”.
Belanda tidak menutup mata terhadap prestasi dan jasa orang Afrika ini. Mengingat kedatangan mereka berstatus “bujangan”, mereka menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan perempuan setempat, ada yang sekedar kumpul kebo, namun banyak yang berujung dengan pernikahan. Mereka membangun kehidupan rumah tangga dan sewaktu kontrak mereka habis, mereka yang tidak ingin kembali ke Afrika, memutuskan untuk menetap ditempat dimana mereka terakhir ditugaskan. Inilah kiranya cikal-bakal masyarakat Afrika , khususnya di Purworejo. Mereka hidup di luar tangsi dan membaur dengan masyarakat setempat bersama isteri penduduk pribumi dan anak-anak turunan mereka, yang mendapat julukan Indo Afrika.
Kampung Afrikan.
Keadaan ini nampaknya menjadi perhatian pemerintah Belanda. Sejalan dengan makin tumbuh-berkembangnya kelompok keluarga Afrika ini dan mengingat akan jasa-jasa mereka, juga alasan praktis agar dalam keadaan darurat bisa sewaktu-waktu dikerahkan, Pemerintah Belanda melalui keputusannya tertanggal 30 Agustus 1859, membeli sebidang tanah di Pangen Jurutengah yang di khususkan bagi pemukiman warga Afrika. Setiap keluarga mendapat jatah 1.151 meter persegi untuk dibangun rumah sekaligus lahan garapan untuk berkebun dan bertani. Dengan bantuan pemerintah Belanda ini tumbuhlah perkampungan/hunian masyarakat Afrika di Purworejo yang masih mempertahankan ciri-ciri identitas keafrikaannya. Inilah satu satunya hunian masyarakat Afrika di Indonesia, atau yang dikenal sebagai “Kampung Afrikan” di Purworejo, yang juga menjadi acuan/tempat berkumpul bagi masyarakat Afrika dari
Walupun mereka hidup dalam hunian khusus, namun hubungan dengan masyarakat pribumi sekitarnya relatif berlangsung baik dan harmonis dengan prinsip hidup berdampingan secara damai. Dan jangan dilupakan bahwa anak/turunan mereka itu hakekatnya adalah hasil dari perkawinan dengan wanita-wanita setempat juga. Dalam catatan terakhir ada sekitar 25 keluarga Afrika yang terdaftar sebagai pemilik tanah/rumah dengan jumlah warga sekitar 90 orang yang tinggal di Kampung Afrikan tersebut. Nampaknya masyarakat Purworejo menerima keberadaan mereka secara wajar dan ini membuktikan bahwa toleransi penduduk/masyarakat Purworejo sejak jaman dulu memang telah teruji.
Oerip “mengepung” Kampung Afrikan.
Satu satunya insiden yang dilaporkan terjadi sekitar tahun 1910, sewaktu Pak Oerip Sumoharjo, salah satu pendiri TNI, yang waktu itu berusia 17 tahun “mengerahkan” pasukan pemuda dari Sindurjan (perkampungan sebelah barat alun-alun) “mengepung dan menyerbu” hunian orang Afrika pada suatu senja dengan meneriakkan “Londo ireng toentheng, iroenge menthol, soearane bindheng” (Belanda hitam legam, hidungnya besar, suaranganya sengau). Pak Oerip yang bersekolah Belanda bersama Indo Afrika merasa dihina oleh mereka yang mengatakan “tubuhnya kecil dan bahasa Belanda-nya jelek”, berbeda dengan mereka yang besar dan berbahasa Belanda bagus dan tanpa aksen. Insiden tersebut dapat diselesaikan. Ayah Pak Oerip berjanji akan menegor anaknya, namun mereka juga minta agar pemuda Afrika tidak akan mengulangi ucapannya.
Surutnya Kampung Afrikan.
Jatuhnya Pemerintah Hindia Belanda bulan Maret 1942, datangnya pendudukan Jepang dan kemudian disusul dengan Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 adalah pertanda jaman dan berpengaruh sangat menentukan bagi keberadaan Kampung Afrikan di Purworejo. Selama pendudukan Jepang, kampung Afrika tidak terlalu diusik karena dianggap bukan orang Belanda, walaupun berstatus hukum Belanda. Hanya sebahagian dari mereka yang aktif dalam ketentaraan ditangkap dan dimasukkan dalam kamp tahanan bersama dengan Belanda. Keadaan berubah setelah Indonesia merdeka. Orang-orang Afrika yang memang berstatus hukum sebagai “Belanda Hitam” digolongkan sama dengan orang Belanda dan diperlakukan sama dengan Belanda. Kampung Afrikan di Purworejo dengan demikian kehilangan hak hidupnya, harus dikosongkan dan penghunianya dipindahkan, sementara ke Gombong untuk kemudian ke Jakarta/Bandung dan seterusnya di repatriasikan ke negeri Belanda. Ini sesuai dengan keinginan mereka juga yang menyatakan “Saya orang Belanda dan tidak ingin jadi orang Indonesia”. Sebelumnya Bung Karno, sewaktu jadi mahasiswa di Bandung mengatakan kepada temannya seorang Indo Afrika: “…tidak ada tempat bagi Belanda Hitam di Indonesia Merdeka karena kalian dulu bergabung dengan Belanda untuk berperang melawan Indonesia”.
Sejarah yang Terlupakan.
Kini, seratus delapan puluh tahun kemudian sejak pertama kedatangan serdadu Afrika di Hindia Belanda dan seratus limapuluh tahun sejak berdirinya Kampung Afrikan atau sekitar 67 tahun sejak pengosongan Kampung itu, jejak-jejak keberadaan mereka di Purworejo nyaris hilang tidak berbekas. Beberapa rumah-rumah asli yang tersisa dan tanah-tanah yang mereka miliki telah berpindah kepemilikannya secara sah lewat proses jual-beli kepada warga Indonesia, dan Kampung Afrikan telah berobah menjadi kampung/hunian warga Indonesia biasa sebagimana kampung-kampung lainnya. Tidak ada “sisa” orang Afrika di tempat tersebut bahkan keturunannya juga sulit untuk dilacak di Purworejo. Saya diberitahu bahwa ada keluarga keturunan Afrika di Purworejo garis ketiga yang nikah dengan orang Timor, namun saya tidak berhasil menemukan alamatnya. Sementara itu Mas Gunarso dari Blogger Purworejo mengatakan bahwa salah seorang anggota keluarganya, masih kepernah Pak De nya, ada yang punya darah Indo Afrika.
Sekarang ini keturunan mereka kadang-kadang berombongan datang dari negeri Belanda sebagai wisatawan untuk “napak tilas” sejarah para leluhurnya, dengan mengunjungi bekas/situs “Kampung Afrikan”, tempat dimana nenek-kakek mereka dilahirkan dan tinggal, yang menceritakan betapa mereka menikmati kehidupan yang bahagia waktu itu, dan melihat Sukarno “sebagai orang yang mengusir dirinya dari surga masa mudanya”. Apa yang sekarang dapat mereka saksikan adalah beberapa gedung asli tempat hunian nenek-kakek mereka dan nama jalan/gang yang telah diabadikan sebagai “Gang Afrikan I dan Gang Afrikan II”. Nama-nama itupun tadinya sudah diganti dengan nama Gang Koplak, tempat kusir delman ”mengombor” kuda mereka, dan hanya karena protes para sejarawan yang didukung para penghuni, maka nama asli Gang tersebut dikembalikan ke aslinya. Mereka juga pergi ke Kerkop (makam Belanda) dibelakang Lembaga Pemasyarakatan, dan menemukan beberapa nisan dari para leluhur mereka yang masih tersisa, antara lain dengan inskripsi/tulisan dalam bahasa Belanda yang kabur dan susah dibaca:
“Disini beristirahat, Ayah kami tercinta P.de Ruiter, Lahir di Afrika dan meninggal tanggal 4 September 1900 dalam usia 75 tahun di Purworejo”.
Comments
Post a Comment