PURWOREJO: DALAM CATATAN DAHLAN ISKAN
Problem susu etawa di Bukit Menorah
Manufacturing Hope 44
Sudah terlalu malam ketika saya tiba di Sumowono, desa di gugusan
Bukit Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Sudah terlalu gelap untuk bisa
melihat kandang-kandang kambing di desa itu.
Saya salah perhitungan. Berbekal alamat saja ternyata tidak cukup. Rencana untuk tiba di desa itu pukul 17.00 pun meleset.
Jarak Jogja-Purworejo yang diperkirakan bisa ditempuh satu jam
ternyata harus tiga jam. Untuk bisa keluar dari Jogja saja sudah
memerlukan waktu satu jam sendiri. Proyek flyover di ujung ring road
Jogja itu membuat lalu-lintas sore hari macet-cet.
Tapi, itu bukan menyebab utama. Kesalahan fatalnya karena saya salah
memilih jalan: untuk ke desa Sumowono ternyata bisa lewat Godean. Tidak
perlu masuk kota Purworejo. Tapi nafsu besar untuk bisa menikmati dawet
hitam yang terkenal itu membuat saya ingin masuk kota Purworejo.
Akhirnya saya baru masuk desa itu pukul 20.30. Sepi. Gelap. Pak Lurah
Maryono pun tidak di rumah. Untung bisa dicari untuk segera pulang.
Sudah lama saya ingin ke desa ini karena keistimewaan kambingnya. Tapi
tidak mungkin di kegelapan seperti itu saya bisa melihat di mana letak
kecantikan kambing-kambing Sumowono.
Maka saya putuskan saja bermalam di desa itu. Baru pagi-pagi keesokan
harinya keinginan melihat kambing istimewa itu terlaksana. Sambil
menikmati hawa sejuk pagi hari di Bukit Menoreh.
Malam itu, di rumah Pak Maryono yang belum sepenuhnya jadi, kami bisa
ngobrol lesehan dengan beberapa penduduk yang memelihara kambing
bantuan BUMN. Saya ingin melihat sendiri kenyataan di lapangan apakah
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN itu benar-benar sebaik
yang dilaporkan.
Kian malam obrolan kian menarik. Suguhan singkong goreng dan pisang
rebusnya enak sekali. Apalagi Bu Lurah Maryono juga menyuguhkan susu
hangat dari kambing etawa, yang manisnya berasal dari gula aren produksi
desa sendiri.
Obrolan di lantai malam itu kian lengkap karena Pak Bupati Purworejo,
Drs Mahsun Zain, tiba-tiba muncul ikut lesehan. Inilah obrolan yang
penuh canda karena banyak juga membicarakan masalah seks! Terutama
hubungan seks antar kambing.
“Kalau terjadi hubungan seks, di sini, pihak wanitanya yang harus
bayar,” ujar Warman, seorang penerima bantuan kambing etawa BUMN PT Jasa
Raharja (Persero). “Sekali hubungan Rp 50.000,” tambahnya.
Waktu itu, 1,5 tahun lalu, Warman bersama 23 orang penduduk Sumowono
menerima pinjaman Jasa Raharja masing-masing Rp 15 juta. Bunganya hanya
enam persen setahun. Tiap orang bebas menentukan strateginya sendiri.
Boleh membeli lima kambing kecil-kecil, boleh juga membeli tiga kambing
yang sudah besar. Marwan membeli tiga kambing etawa: dua induk dan satu
calon induk.
Sabtu kemarin, ketika saya di sana, kambing Warman sudah 14! Hanya dalam waktu 1,5 tahun.
Warman termasuk warga yang cerdas dalam menentukan strategi mengenai
jenis kambing yang harus dibeli dengan uang Rp 15 juta itu. Sama-sama
dapat pinjaman Rp 15 juta, ada yang saat ini baru memiliki 10 kambing.
Program ini memang sangat berhasil. Dari 23 orang yang tergabung
dalam kelompok Ngudi Luwih, tidak satu pun yang gagal. Semua kambing
mereka berkembang. Semuanya mampu membayar cicilan pertama sebesar Rp 5
juta.
Kalau toh ada yang belum memuaskan, program ini belum menyentuh penduduk yang termiskin di desa itu.
Soal inilah yang malam itu kami obrolkan sampai malam: bagaimana
penduduk yang termiskin bisa dientas lewat program yang sama. Menurut
Pak Lurah, masih ada 100 KK (dari 350) yang sangat miskin. Seratus KK
tersebut kami kelompokkan: mana yang bisa segera ditangani dan mana yang
harus tahap berikutnya.
Ternyata ada 40 KK yang bisa segera dibikinkan program yang sama. Pak
Lurah bersama penduduk yang sudah terbukti mampu mengembangkan kambing,
sepakat untuk bersama-sama menuntun 40 orang itu. “Baik Pak. Kami akan
ikut membina mereka,” ujar Pak Lurah.
Awalnya, bantuan tersebut ditawarkan kepada siapa saja di desa itu.
Tentu harus untuk membeli kambing etawa. Ini karena memelihara etawa
sudah mendarah mendaging di pegunungan itu. Sudah sejak zaman Belanda.
Tapi, ternyata, mereka yang tergolong termiskin tersebut tidak mau
mendaftar.
Mengapa? “Mereka pada takut. Takut punya utang dan takut tidak bisa
mengembalikan,” ujar Pak Lurah. Tapi setelah melihat banyak penduduk
yang berhasil, sebagian dari 100 orang tersebut kini mulai berani.
Misalnya Pak Habib Abdul Rosyid. Habib adalah imam di masjid kecil di
desa itu. Bacaan ayat-ayat Al Qurannya sangat baik. Habib hanyalah
tamatan madrasah tsanawiyah (setingkat SMP), yang karena kemiskinannya
tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih atas.
Sehari-hari Habib (42 tahun) menjadi buruh tani, mencangkul atau
mencari rumput. Habib juga memelihara enam kambing tapi milik orang
lain. Habib hanya menggadu.
Usai salat subuh yang dia imamnya, saya ngobrol lesehan dengan
seluruh jamaah di teras masjid. Tentu obrolan mengenai kambing etawa.
Habib tiba-tiba mengajukan diri untuk mendapatkan bantuan Jasa Raharja.
“Mengapa tidak ikut kelompok yang pertama dulu?” tanya saya.
“Waktu itu saya takut Pak. Ternyata bapak-bapak ini berhasil semua,” ujarnya.
“Sekarang sudah berani?” tanya saya.
“Berani Pak. Saya harus berhasil. Saya harus maju. Dan lagi anak saya
tiga. Sudah mulai ada yang masuk SMP. Sudah mulai memerlukan banyak
biaya,” tambahnya.
Habib juga segera ingin berubah. Dari memelihara kambing biasa milik
orang lain menjadi memelihara kambing etawa milik sendiri. Kambing
biasa, kata Habib, memerlukan makan sangat banyak. “Dua kali lipat dari
kambing etawa,” tambahnya. “Kambing etawa hanya sekali makan. Kambing
biasa tidak henti-hentinya makan. Menjelang tidur pun masih makan,” kata
Habib.
“Di musim kemarau seperti ini saya harus cari rumput sampai lima kilometer jauhnya,” katanya.
Salon Kambing
Kambing etawa adalah kambing yang dipelihara bukan karena dagingnya,
tapi karena kecantikannya. Tubuhnya tinggi (90 cm), besar, indah, dan
bulunya (khususnya bulu panjang yang tumbuh di bagian pantatnya) sangat
seksi. Bentuk wajahnya manis seperti ikan lohan. Telinganya panjang
menjuntai dengan bentuk yang mirip hiasan di leher.
Memang, orang memelihara kambing etawa karena harga jualnya yang
tinggi. Satu ekor bisa mencapai Rp 10 juta. Mengalahkan harga kerbau
sekali pun. Memang, memelihara kambing etawa seperti memelihara ikan
lohan atau burung cucakrowo: untuk hobi. Karena itu peternak etawa harus
amat rajin merawat kambingnya. Agar terlihat selalu cantik. Kalau perlu
sesekali membawa kambingnya ke salon kambing.
Pagi itu kebetulan lagi hari pasaran kambing etawa di Kaligesing. Pak
Bupati, yang pagi-pagi kembali ke Sumowono, mengajak saya ke pasar
hewan. Seru! Inilah satu-satunya bursa kambing etawa di republik ini.
Pemilik etawa datang dari berbagai kabupaten. Menurut catatan pintu
retribusi, lebih 700 ekor etawa yang ditransaksikan hari itu.
Di tengah-tengah bursa itulah salon kambing dibuka. Pagi itu saya
lihat banyak pemilik kambing yang antre: ada yang ingin mempercantik
tanduknya ada pula yang ingin memotongkan kuku kambing mereka.
Dari segi penyakit pun, hanya satu yang ditakutkan: kanker payudara.
Karena itu peternak harus rajin meraba-raba payudara kambing mereka.
Begitu payudara itu terasa lebih panas dari suhu tangan yang meraba,
haruslah segera disuntik. Kalau tidak, payudara itu akan mengeras,
membiru, dan tidak sampai seminggu akan mati.
Apalagi, dalam setiap lomba, keindahan payudara termasuk yang dinilai. Kian indah payudaranya, kian mahal harga jualnya.
Tapi yang paling menentukan adalah kemampuannya memproduksi anak.
Untuk itu peternak harus hafal kapan kambingnya mulai birahi. Ini bisa
dilihat dari kemaluannya yang memerah, atau yang sepanjang malam
gelisah, tidak mau tidur dan terus mengembik. Kalau sudah begini,
peternak harus segera membawanya ke pejantan untuk dikawinkan.
Betina yang lagi birahi tersebut dimasukkan ke kandang pejantan.
Pemiliknya harus selalu mengintip. Ini untuk memastikan apakah
perkawinan sudah terjadi. Biasanya tidak lama. Dalam waktu setengah jam,
perkawinan sudah terjadi dua kali. Cukup. Betinanya segera dikeluarkan
dan dibawa pulang. Tentu setelah membayar Rp 50.000.
Setengah bulan kemudian, kalau belum terjadi tanda-tanda kehamilan, sang betina dikawinkan lagi. Kali ini gratis.
Di satu desa Sumowono ini hanya ada tiga pejantan handal. Satu milik
bersama di kelompok Ngudi Luwih. Yang dua ekor lagi milik perorangan.
“Satu pejantan bisa melayani 40 betina dalam sebulan,” ujar Marwan.
Berarti satu pejantan menghasilkan uang Rp 2 juta sebulan.
“Tidak boleh terlalu sering mengawini. Kualitas keturunannya bisa
kurang baik,” tambahnya. Semua peternak mengharapkan kualitas kambing
mereka baik agar harga jualnya kelak bisa tinggi.
Tidak boleh juga habis mengawini satu betina langsung mengawini
betina lainnya. Pernah terjadi, kata Marwan, yang diharapkan lahir
kambing dengan kepala hitam, ternyata yang lahir merah. Padahal
jantannya berkepala hitam dan betinanya juga berkepala hitam. “Ini
karena jantannya baru saja mengawini betina yang berkepala merah,”
katanya.
Entahlah.
Yang jelas mayoritas peternak menginginkan bagian kepala sampai leher
dan dada berwarna hitam. Batas warna hitam dengan warna putih di bagian
tubuhnya juga harus rapi. Telinganya juga harus hitam yang panjangnya
mencapai 30 cm. Untung-untungan seperti inilah yang membuat tidak semua
peternak bernasib baik. “Ada peternak yang waris dan ada yang tidak
waris,” katanya.
Tentu saya akan meminta Jasa Marga untuk meneruskan program ini.
Sampai yang 100 orang termiskin tersebut bisa tertangani. Desa ini
memang sudah berhasil keluar dari status desa tertinggal, tapi 100 KK
termiskin tersebut masih mengganjal.
Apalagi BUMN Hutama Karya juga sedang membangun jembatan yang roboh
di desa itu dan sudah mengaspal jalan sepanjang 500 meter yang menanjak
ke gunung.
Tentu masih ada lagi yang belum memuaskan: susunya! Belum ada upaya
yang sungguh-sungguh untuk mengkoordinasikan susu kambing etawa ini.
Penduduk memang sudah mulai biasa minum susunya, tapi belum sampai
tingkat melakukan pemerahan tiap hari.
Ini karena belum ada perusahaan yang bisa sepenuhnya menampung seluruh susu kambing etawa di Kaligesing.
Padahal di kecamatan ini terdapat 70.000 kambing etawa. Padahal keistimewaan kambing ini, sebenarnya, karena kualitas air susunya itu!
Padahal di kecamatan ini terdapat 70.000 kambing etawa. Padahal keistimewaan kambing ini, sebenarnya, karena kualitas air susunya itu!
“Satu liter susu sapi hanya berharga Rp 6.000. Satu liter susu
kambing etawa Rp 15.000!” Ujar Agus Suherman, kepala bidang di
Kementerian BUMN yang mengurus PKBL.
Apalagi minat ber-etawa terus meningkat. Pak Solikun, misalnya.
Tahun lalu Pak Solikun memiliki enam kerbau. Kini kerbau itu dia jual
semua. Dia belikan etawa. Memelihara kerbau, katanya, bukan main
susahnya. (Ini saya benarkan karena waktu kecil saya juga sering
memandikan kerbau). Padahal harga satu kerbau kalah dengan satu kambing
etawa yang baik.
Tak ayal bila di seluruh desa ini kini hanya tinggal ada lima kerbau.
Ini pun rasanya tidak akan lama. Kerbau akan segera hilang dari desa
etawa ini.(*)
Sumber : Catatan Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Menteri BUMN
Comments
Post a Comment