Sejarah Bagelen 1
Nama
Bagelen, muncul dalam sejarah nasional sejak adanya Perjanjian Giyanti 13
Februari 1775, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti tersebut terjadi akibat
dari perang saudara antara Susuhunan Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi
atau Pangeran Sambernyowo yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Baik oleh Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta afdeling (wilayah) Bagelen tidak masuk dalam “wilayah negara”. Oleh sebab itu, afdeling tersebut dinamakan Mancanegara Kilen (sebab letaknya disebelah barat negara). Dalam perjanjian giyanti juga disebutkan Bagelen yang sebelumnya menjadi wilayah “negara agung” kerajaan Mataram juga dibagi menjadi dua bagian. Sebagian masuk wilayah Kasunanan Surakarta dan sebagian masuk wilayah Kasultanan Yogyakarta. Arti negara agung adalah sebuah wilayah yang banyak berisi tanah jabatan atau tanah lungguh atau tanah bengkok milik para pejabat kerajaan dan pangeran.
Baik oleh Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta afdeling (wilayah) Bagelen tidak masuk dalam “wilayah negara”. Oleh sebab itu, afdeling tersebut dinamakan Mancanegara Kilen (sebab letaknya disebelah barat negara). Dalam perjanjian giyanti juga disebutkan Bagelen yang sebelumnya menjadi wilayah “negara agung” kerajaan Mataram juga dibagi menjadi dua bagian. Sebagian masuk wilayah Kasunanan Surakarta dan sebagian masuk wilayah Kasultanan Yogyakarta. Arti negara agung adalah sebuah wilayah yang banyak berisi tanah jabatan atau tanah lungguh atau tanah bengkok milik para pejabat kerajaan dan pangeran.
Seorang Belanda bernama A. Van Poel mengatakan nama Bagelen berasal dari istilah kethol Bagelen, yaitu priyayi atau bangsawan setempat yang ada di tanah Bagelen. Menurutnya Bagelen berasal dari nama orang. Pendapat tersebut berdasarkan cerita dan data yang dikumpulkan dari para kethol Bagelen. Dari cerita para kethol Bagelen dahulu ada wanita bernama Roro Rengganis yang mempunyai keahlian menenun. Setelah dewasa Roro Rengganis yang masih merupakan ketirunan raja dipersunting oleh Joko Awu-awu Langit yang berasal dari Gunung kelir. Dan setelah menikah kemudian menjadi Adipati dan bergelar Cokropermono.
Sementara ada dua versi yang menyebutkan asal-usul Joko Awu-awu Langit yang pertama disebutkan berasal dari Gunung Kelir dan dari Ambar Ketawang. Gunung Kelir merupakan kawasan pegunungan yang sangat tinggi menjulang seperti mau merapat ke langit. Versi kedua berasal dari daerah pantai yang ujung daerah tersebut mirip merapat ke langit. Sehingga disimpulkan oleh versi kedua kalau Joko Awu-awu Langit berasal dari Ambar Ketawang. Karena Awu-awu Langit artinya memang sama dengan Ambar Ketawang. Namun A. Van Poel berkeyakinan Joko Awu-awu Lngit berasal dari Gunung Kelir. Dari hasil perkimpoian antara keduanya dikarunia tiga orang anak, yaitu; Roro Taker, Roro Pitrah dan Bagus Gentho.
Pada hari selasa wage kebetulan Joko Awu-awu Langit sibuk menumpuk padi di lumbung. Sedangkan istrinya sebuk menenun, datanglah seekor anak sapi dari arah belakang yang dikiranya anaknya Bagus Gentho yang minta minum. Kemudian Roro Rengganis menyusuinya dengan cara menyampirkan payudranya ke belakang, sebab kopek. Melihat hal tersebut Joko Awu-awu Langit menegur istrinya sambil tertawa. Mendapat teguran itu Roro Rengganis merasa terhina dan marah terhadap suaminya. Akhirnya keduanya bertengkar, apalagi ketika mencari kedua anaknya yaitu Roro Taker dan Roro Pitrah. Disemua tempat tak juga diketemukan, dan akhirnya mereka diketemukan berada di bawah tumpukan jerami yang ditumpuk oleh ayahnya sendiri. Atas kejadian tersebut Roro Rengganis makin marah dan kemudian mengusir suaminya.
Joko Awu-awu Langit kemudian pergi dari rumah dan membawa anaknya yang masih hidup yakni Bagus Gentho. Sepeninggal suaminya kemudian Roro Rengganis mengalami duka yang dalam, hatinya sangat pegal (jawa-pegel). Dalam keadaan duka itu kemudian beliau pergi bertapa ke arah barat dan tidak pernah kembali. Menurut para kethol Bagelen Roro Rengganis kemudian melakukan tapa brata, dan karena kesungguhan dalan bertapa kemudian beliau bisa muksa (hilang) bersama raganya.
Dengan terjadinya peristiwa dalam keluarga Adipati Cokropermono pada hari selasa wage hingga kini dianggap sebagai hari naas bagi orang Bagelen. Sedang desa tempat tinggal Roro Rengganis karena hatinya pegal sejak mengalami kehancuran keluarganya akhirnya diberi nama “Kapegelan” yang berasal dari kata “Pegel”. Dari nama kapegelan tersebut akhirnya berubah menjadi Bagelen. Demikian juga Roro Rengganis yang sering disebut Roro Wetan disebut juga Nyai Kapegelan atau Nyai Bagelen.
Comments
Post a Comment